Dikit-dikit Diancam Mutasi Ke Luar Kota?

Surabaya, SPDNews – Pekerja seringkali dihadapkan dengan suasana kerja yang tidak kondusif, perlakuan-perlakuan intimidatif dan kesewenang-wenangan oleh atasan atau perusahaan. Biasa terjadi terutama pada pekerja kelas bawah yang menerima upah sesuai Upah Minimum kota/Kabupaten (UMK).

Ilustrasi: Maxmanroe

Seperti dialami oleh salah satu pekerja Bank Swasta di Kota Surabaya. Sebut saja Marijo, yang turut menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei 2019. Keesokan harinya, saat dia masuk kerja dikagetkan oleh perintah dari atasannya bahwa akan dimutasi jauh ke luar kota. Sontak perintah tersebut membuat panik dirinya.

Pria 41 tahun ini bercerita, dirinya benar-benar merasakan akan dibuang halus dengan cara dimutasi ke luar kota. “Sebulan yang lalu, saya tidak mau menandatangani pengajuan pensiun dipercepat karena belum siap. Saat ini kedua anak saya sering sakit-sakitan, seringkali keluar masuk rumah sakit. Semakin aneh karena kenapa mutasi tidak ditujukan kepada mereka yang memiliki pangkat dan upah pokok lebih tinggi. Toh, produktivitas kerjanya sama-sama tidak sesuai target. Ini bener-bener tidak adil.” tuturnya dengan wajahnya kosong.

Berstatus pekerja tetap, sering merasakan banyak penekanan atau ancaman mental. Seolah tersekap dalam penjara kekalutan. Bingung memikirkan uang apa lagi buat biayanya, harus langganan berhutang ke siapa lagi ditambah biaya untuk kebutuhan pulang perginya ataupun munculnya biaya dapur ganda apabila kos di luar kota. “Jadi stress pikiranku. Upah pas-pasan dan sering ijin karena sakitpun juga dijadikan dasar alasan mutasi. Padahal saya itu sakit beneran dan ada lampiran surat dokternya,” pungkasnya seolah ingin berontak mengadu pada penguasa alam semesta.

Bagaimana itu bisa terjadi? Mutasi yang dilakukan perusahaan serasa liar menjegal, tidak kenal kemanusiaan dan bahkan seolah menentang peraturan perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku. Mutasi dilakukan oleh perusahaan, seharusnya tidak sebagai wujud pengancaman hukuman atau pemaksaan terselubung. Seharusnya bagian upaya untuk tetap memberikan pengembangan jenjang jabatanya atau jaminan kelangsungan hidup secara layak dengan tetap memberikan fasilitas perlindungan kesejahteraanya beserta keluarganya.

Namun yang biasa terjadi adalah mutasi itu menjadi model kebijakan menyeramkan atau menghantui seperti sebuah lonceng tanda kematian harapan. Karena mutasi tadi tidak didasarkan atas manfaat dan tujuan yang adil bermartabat. Terutama kepada pekerja yang berkinerja rendah. Selalu dijadikan momentum kuat untuk membuang jauh dengan mutasi ataupun bentuk-bentuk surat penugasan pindah penempatan kerja ke luar kota yang terlihat semata-mata hanyalah lebih menderitakan pekerja secara halus dan samar-samar. Lebih ironis, mutasi itu ditujukan kepada pekerja yang tidak segera mengajukan pensiun dipercepat.

Tentunya ini menjadi jentik-jentik perselisihan karena mutasi ke luar kota tanpa ada transparansi atas kompensasi tambahan. Mencuaknya gesekan ketidakadilan atau diskriminatif yang bermantra mutasi, disebabkan kepentingan individual, perbencian komunikasi atau lebih sering didengar dengan istilah like and dislike.

Bisa disimpulkan bahwa mutasi atas maksud dan tujuan yang seperti itu sungguh tidak bermartabat, tidak sesuai dengan kaidah hukumnya, tergambar sebagai sandiwara politik dari upaya-upaya pembuangan pekerja, agar pekerja merasakan lebih lelah, semakin bertambah susah payah beban ekonominya, tidak tahan dengan perubahan keadaan, yang pada akhirnya pelan-pelan otomatis akan tergiring untuk memutuskan sepakat mengajukan PHK atas inisiatifnya sendiri. Inilah jurus atau jimat-jimat lembut yang selalu elegan dipakai oleh perusahaan pada umumnya.

Tidaklah berdosa untuk sekedar mengingat, bahwasanya negara telah melahirkan hukum ketenagakerjaan itu dengan fungsinya yang tegas, yaitu untuk memberikan jaminan sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja dari segala upaya perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, dan memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada tenaga kerja.

Ingatlah, sejarah penindasan pekerja itu terjadi melalui dipaksa, terpaksa lalu menjadi terbiasa dan ujung-ujungnya nasib menjadi binasa.

Comments (4)

  1. purwadi jaya

    Satu kata : LAWAN ✊

  2. Abdoel Moedjib

    Mutasi yg berkesejahteraan akan mendorong sikap saling menguntungkan

    • srirachmawatyaulia

      Mutasi zaman now dalih agar karyawan resign sendirinya, keluhan dari bbrp karyawan yg masuk..

  3. rustiati ningsih

    Jaman susah dengan pandemi COVID 19, masih saja hati nurani tidak terketuk..pegawai dengan kinerja rendah disingkirkan dengan merubah homebase pula… hellowww..

    Alih alih mensejahterakan.. ini malah merunyamkan..

Tinggalkan Balasan ke Abdoel MoedjibBatalkan balasan