Kalangan pengusaha dan pemerintah menyebut bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan terlalu kaku sehingga menghambat investasi. Oleh karena itu, agar lebih fleksibel, maka beleid ini harus direvisi.
Benarkah Undang-Undang Ketenagakerjaan menghambat revisi?
Saya berpendapat bahwa undang-undang ini tidak terkait langsung dengan investasi. Alih-alih akan meningkatkan investasi, yang pasti, revisi yang dimaksud justru berakibat pada berkurangnya hak-hak buruh. Inilah yang memicu kemarahan kaum buruh, sehingga mereka bergerak untuk melakukan penolakan.
Setidaknya ada 4 (empat) alasan, mengapa kaum buruh menolak rencana revisi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan.
1. Menurunkan nilai perlindungan dan kesejahteraan
Di seluruh dunia, sifat dasar dari Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap kaum pekerja. Perlindungan ini dimaksudkan agar pekerja tidak tereksploitasi oleh kerakusan pengusaha hitam.
Berkaitan dengan hal itu, jika kita cermati, arah dari revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan justru menurunkan perlindungan dan kesejahteraan kaum pekerja. Akibatnya, sifat dari Undang-Undang Dasar Ketenagakerjaan menjadi hilang.
Sebagaimana yang dilakukan kaum buruh di berbagai dunia yang melakukan pemogokan besar-besaran, hal yang sama juga akan dilakukan oleh buruh Indonesia apabila perlindungan dan kesejahteraan yang terdapat di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dipreteli.
2. Menghilangkan nilai historis keberadaan Undang-Undang Ketenagakerjaan
Secara historis, materi Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan kompilasi dan kodifikasi dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya.
Sebelum Undang-Undang Ketenagakerjaan lahir, regulasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan tersebar di dalam beberapa undang-undang. Di era Presiden Megawati yang saat itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi-nya adalah Jacob Nuwa Wea, Undang-Undang Ketenagakerjaan berhasil disahkan.
Beberapa peraturan yang kemudian dinyatakan tidak berlaku setelah Undang-Undang Ketenagakerjaan lahir adalah: Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8).
Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing; Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana; (6) Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja; Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang.
Di dalam undang-undang yang saya sebutkan di atas, orientasinya adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada kaum buruh.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, misalnya, kita bisa menemukan banyak pasal yang bersifat perlindungan. Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951. Di sana diatur ketentuan mengenai cuti tahunan, cuti melahirkan, hingga pengaturan jam kerja 40 jam seminggu atau 8 jam sehari. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, kalau pengusaha akan melakukan PHK, wajib harus minta izin pada Negara melalui P4D atau P4P.
Terlihat jelas, bahwa secara historis, UU Ketenagakerjaan merupakan kompilasi dan kodifikasi terhadap undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Jika saat ini atas nama investasi akan direvisi, pertanyaan kita, untuk apa ada investasi jika minim kesejahteraan? Ini ironis. Hanya untuk mengejar investasi kesejahteraan dan perlindungan untuk kaum buruh dikurangi.
Karena itu, kalau ada pengusaha yang mengatakan investasi tidak masuk akibat keberadaan UU Ketenagakerjaan, itu keliru dan ahsitoris. Tidak tahu sejarah.
3. Tidak ada satu pun penelitian yang menyatakan akibat pesangon dan sistem upah, investasi tidak mau masuk ke Indonesia
Salah satu pasal yang ingin direvisi adalah pesangon dan upah, karena dinilai terlalu besar. Sebagaimana kita tahu, saat ini, pesangon kita sebesar 9 bulan upah untuk masa kerja 8 tahun.
Mereka mengatakan, pesangon di Indonesia terlalu besar jika dibandingkan dengan Negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan negara-negara di Eropa. Namun demikian, jangan hanya dilihat pesangonnya. Kita juga harus melihat semua sistem jaminan sosial di Negara tersebut.
Di Negara-negara Eropa sudah memiliki asuransi pengangguran yang sudah baik. Sehingga buruh di sana tidak terlalu khawatir di PHK, karena sistem pengangguran akan bekerja jika ada buruh di PHK. Sementara itu, di Indonesia, satu-satunya daya tahan kita ketika dipecat hanyalah pesangon.
Mereka juga memiliki jaminan pensiun yang memadai. Sementara iuran jaminan pesiun kita hanya 3 persen, 2% dibayar pengusaha dan 1% buruh. Dengan iuran sebesar ini, 15 tahun lagi ketika pensiun, kita hanya mendapatkan dana pensiun 300 ribu.
Karena itulah, KSPI mengusulkan, iuran jaminan pensiun adalah sebesar 10%. Dimana 2% dari buruh dan 8% dari pengusaha. Hal ini agar daya tahan kita ketika memasuki usia pensiun lebih kuat.
Apabila pesangon dirasa berat, maka solusinya bukan mengurangi nilai pesangon. Di zaman Menteri Tenaga Kerja dijabat Erman Suparno, misalnya, pernah didiskusikan Dana Cadangan Pesangon. Jika pesangon yang dibayarkan sebesar 9 bulan, maka pengusaha hanya perlu mencadangkan dana sekitar 3%.
Jadi pengusaha harus menabung, agar tidak berat. Tetapi karena pesangon tidak mau mencadangkan dana pesangon, akhirnya mereka “kelabakan” ketika harus membayar pesangon buruh-buruhnya.
Ini aneh. Kesalahan pengusaha yang mengelola managemen, justru buruh yang kemudian ditekan.
4. Persoalannya terletak pada pasar, bukan pesangon
Berdasarkan data BPS, dalam kuartal II tahun 2019 pertumbuhan manufaktur turun. Bahkan ada yang minus dibandingkan kuartal II pada tahun sebelumnya.
Jika kita periksa lebih lanjut, pertumbuhan manufaktur hanya 3,54%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%.
Kesimpulannya adalah, pertumbuhan ekonomi tidak disumbang oleh pertubuhan manufaktur. Jangan-jangan yang saat ini tumbuh adalah pasar uang, bukan pasar barang. Online yang tidak menyerap tenaga kerja.
Dengan demikian, sesungguhnya hal ini adalah persoalan pasar. Produk mereka kalah bersaing.
Jadi masalahnya bukan pada persoalan mengenai besarnya pesangon. Harga barang yang anjlok membuat penyerapan pasar rendah.
Ir. H. Said Iqbal, ME.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) / Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)
Artikel ini dikutip dari kompasiana.com
Tulisan Bung Iqbal ini sangat jelas dan masuk akal
Tolak revisi UU no.13 thn 2003 tdk berpihak pd buruh…