Demi Memiliki Rumah, Buruh Harus Berhutang

Surabaya, SPDNews – Dalam sebuah kesempatan, Abdoel Moedjib (Ketua Umum Serikat Pekerja Danamon) mencoba menggali ukuran kesejahteraan buruh. Dia mengambil contoh Dian. Salah seorang buruh yang bekerja di koperasi yang berlokasi di Surabaya.

Kepada Moedjib, Dian menuturkan “bagi saya, sejahtera itu ketika sudah tidak memiliki hutang!”

Apa benar, bebas dari hutang itu bisa dikategorikan sejahtera? Rasanya menarik untuk dikaji. Beberapa teori kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow. Dimana secara mendasar manusia akan dihadapkan pada kebutuhan fisiologi. Diantaranya kebutuhan sandang, pangan (makanan dan minuman), papan (perumahan), kesehatan, transportasi, komunikasi, kesehatan, dan rekreasi.

Kebutuhan sandang dan pangan, wanita berusia 36 tahun ini mengaku sudah cukup. Walaupun tidak sedikit kawan-kawannya yang masih berjuang memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Karena kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) selalu diiringi dengan kenaikan harga barang konsumsi di pasar. Sehingga untuk masuk pada kebutuhan perumahan, mayoritas buruh mengatakan harus mengambil hutang.

Boro-boro nabung untuk rumah. Sisa uang untuk makan, habis untuk bayar sekolah anak,” keluhnya.

Tak jarang untuk biaya sekolah dan kuliah anak-anak, buruh harus mengambil hutang ke koperasi dan rentenir sehingga semakin menambah beban ekonomi mereka. Pada kondisi ini, diperlukan campur tangan Pemerintah dalam mengejawantahkan amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Comments (1)

  1. Adi nawawi

    Beginilah kami para buruh. Tapi kami akan hadapi. akan trus tersenyum dan berusaha mencari pilihan lain untuk kehidupan lebih baik.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: