Masalah Pelonggaran Kepemilikan Bank

Baru dua tahun diberlakukan, aturan mengenai kepemilikan tunggal (single presence policy) atas suatu bank bakal dikaji ulang. Mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 39/POJK.03/2017, setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank.

Ketentuan kepemilikan tunggal atas satu bank menghendaki investor melakukan merger pada bank yang akan diakuisisi. Keharusan merger inilah yang tampaknya hendak mereka hindari. Selain itu, bank-bank kecil, yang mengalami kesulitan mencari investor baru, malas melakukan merger satu sama lain.

Merger (Dok: My Money Souq)

Secara teoretis, keengganan untuk melakukan merger sangat masuk akal. Merger mensyaratkan keberimbangan di antara bank-bank yang akan dilebur. Ketidaksetimbangan bank memunculkan masalah manajerial yang berimbas tidak ringan pada target pasar. Alih-alih bersinergi, merger bisa mendistorsi brand image yang telah dibangun. Maka, penguatan struktur modal dan aset bank menjadi sasaran yang dibidik dari regulasi kepemilikan tunggal dan disiasati perbankan dengan mencari tambahan modal untuk naik level.

Tren ini tampaknya belum akan banyak berubah. Arsitek Perbankan Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia mensyaratkan kecukupan modal. Regulasi terbaru Basel III dan Peraturan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 bahkan mewajibkan perbankan menambah cadangan modal untuk mengantisipasi penurunan nilai.

Dengan merevisi aturan tersebut, nantinya perbankan diperbolehkan memiliki lebih dari satu bank tanpa harus merger. Dengan begitu, bank-bank besar akan tertarik mengakuisisi bank-bank kecil guna memperluas cakupan bisnis dalam lingkup grup alias holding.

Dengan pelonggaran ini pula manfaat ekonomi dan sinergi bagi bank kecil akan lebih tinggi. Konsolidasi bank kecil, seperti menjadikannya unit khusus digital, usaha menengah kecil dan mikro, atau segmen retail di bawah kontrol bank besar, menjadi jauh lebih baik lantaran bank induk dapat menyuntikkan modal bila anak usahanya membutuhkan.

Namun pelonggaran kepemilikan tunggal berpotensi memunculkan persoalan baru. Yang paling dekat adalah era Masyarakat Ekonomi ASEAN di sektor keuangan yang akan dibebaskan mulai 2020. Konsekuensinya, akan banyak bank asing masuk dengan membeli bank lokal yang sudah ada.

Banyaknya bank asing ini niscaya akan menciptakan persaingan yang sehat dan meningkatkan efisiensi. Akibatnya, bank kecil domestik dengan tingkat efisiensi yang rendah akan dengan sendirinya tereliminasi.

Kekhawatiran ini perlu diantisipasi. Efisiensi rasio biaya operasional dan pendapatan operasional lebih tinggi pada Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I, yakni bank dengan modal inti sampai Rp 1 triliun, dan BUKU II, bank dengan modal inti Rp 1-5 triliun. Sementara itu, ukuran efisiensi yang diukur dengan indikator net interest margin (NIM) menunjukkan bank BUKU IV, bank dengan modal inti sedikitnya Rp 30 triliun, memiliki NIM paling besar. Artinya, efisiensi perbankan nasional belum meyakinkan.

Relaksasi kepemilikan tunggal juga membuka peluang penyaluran kredit kepada perusahaan dalam satu kepemilikan. Kondisi perbankan nasional menjelang krisis 1997/1998 menjadi pelajaran berharga mengenai hal ini. Intinya, risiko sistemik menjadi lebih besar dengan adanya pelonggaran kepemilikan tunggal bank.

Dalam skala industri, relaksasi kepemilikan tunggal agaknya sedikit memupus harapan untuk merasionalisasi jumlah bank di tanah air. Jumlah bank hingga Mei 2019 mencapai 113 unit, belum termasuk bank perkreditan rakyat yang mencapai ribuan. Angka ini diklaim masih terlalu besar untuk mencapai skala efisiensi.

Selain itu, kekakuan sikap bankir punya andil dalam menentukan perubahan lingkungan strategis nantinya. Bank kategori BUKU III dan IV adalah pemimpin pasar dalam industri perbankan yang masih berstruktur oligopolis. Dari total 113 bank umum yang beroperasi, 67 unit (60 persen) di antaranya adalah bank kecil di BUKU I dan II. Artinya, mayoritas bank kecil dan menengah pasif menunggu langkah yang akan dilakukan oleh bank-bank besar.

Jika demikian, proses konsolidasi bank secara individual memerlukan waktu yang lebih lama. Sejalan dengan itu, penyesuaian kolektif secara industri juga memakan tempo yang tidak singkat. Imbasnya, banyak energi sektor perbankan terbuang mubazir hanya untuk merespons sebuah kebijakan yang kemudian dianulir.

Dari ranah kebijakan, relaksasi kepemilikan tunggal niscaya mengusik kredibilitas OJK. Dalam kondisi ekonomi ke depan yang penuh dengan ketidakpastian, efek konfidensi bukan tidak mungkin lebih signifikan berperan dan bagaimana agen ekonomi merespons keadaan akan sangat bergantung pada kredibilitas kebijakannya.

Pada titik ini, pelaku pasar bisa jadi memperoleh kesan kebijakan OJK hanya coba-coba sebagai reaksi sesaat terhadap fenomena yang sedang terjadi. Risiko terberatnya, segala langkah yang diambil OJK nantinya ditangkap pelaku pasar hanya bersifat sementara dan bernasib sama dengan kebijakan kepemilikan tunggal.

Walhasil, inefisiensi lembaga keuangan di tanah air dalam tataran mikro tidak hanya disumbang oleh perilaku perbankan itu sendiri, tapi secara kelembagaan makro juga disokong oleh regulasi yang tidak efisien. Inkonsistensi regulasi kepemilikan tunggal menjadi ujud nyata dari inefisiensi kebijakan.

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Artikel ini dikutip dari tempo.co

Comments (1)

  1. Islamic Labour Institute

    👍

Tinggalkan Balasan