Pemilu telah usai, hingar bingar pesta demokrasi pun tak terdengar nyaring lagi. Pesta para elit politik untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan yang mengorbankan rakyat terutama kaum buruh pun mulai sunyi. Yang tersisa tinggal episode bagi-bagi jatah kue kekuasaan.
Pesta para elit pada akhirnya selalu melahirkan kebijakan yang tidak pernah berpihak terhadap buruh. Seperti munculnya UU Ketenagakerjaan nomor 13/2003 yang sejak awal sudah ditolak oleh buruh karena dianggap tidak mewakili kepentingan buruh.
UU tersebut telah melahirkan sistem kontrak dan outsourcing yang dilegalkan oleh para penguasa. Pada kenyataannya alih-alih bisa mendapatkan status kerja permanen, hanya untuk masuk ke dalam dunia kerja pekerja harus merogoh kantongnya sedalam mungkin.
Makin tahun jaminan kesejahteraan buruh pun makin kabur. Bersamaa dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 yang membatasi kenaikan upah dengan mengacu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. PP 78 juga menghilangkan hak demokratis serikat buruh untuk berunding.
Belum selesai permasalahan PP 78, pemerintah melalui menteri tenaga kerjanya mengeluarkan statemen bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan di negeri ini seperti kanebo kering alias kaku tidak fleksibel, sehingga perlu direvisi. Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenangakerjaan tersebut pada akhirnya diarahkan hanya menguntungkan pihak pengusaha.
Saat ini revisi Undang-Undang Ketenangakerjaan sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) di DPR. Dalam revisi Undang-Undang tersebut dikabarkan nantinya direncanakan jumlah pesangon untuk buruh dikurangi. Jika sebelumnya pengusaha wajib membayar pesangon 9 kali gaji, setelah direvisi pesangon yang didapat buruh hanya menjadi 5 kali gaji.
Revisi Undang-Undang Ketenangakerjaan juga memberi kelonggaran bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di tanah air. Memperkejakan tenaga kerja asing hanya dibatasi dengan beberapa syarat sebelum bekerja di Indonesia. Alih-alih revisi yang berpihak terhadap buruh justru sebaliknya, makin menyengsarakan buruh.
Belum reda pergunjingan terkait revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, belum lama muncul Deklarasi Pemagangan yang justru dideklarasikan oleh beberapa petinggi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Memang Pemagangan diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan untuk pembelajaran bagi angkatan kerja baru serta persiapan masuk dunia kerja.
Akan tetapi di dalam prakteknya banyak penyelewengan yang dilakukan oleh para pengusaha yang menjadikan peserta magang menjadi pekerja magang yang diupah murah (uang saku) di bawah UMK. Penyelewengan-penyelewengan ini pun tidak pernah ditindak tegas oleh instansi terkait, justru mereka seolah-olah menutup mata dengan peristiwa tersebut.
Apakah hal ini kita akan biarkan? Gairah perlawanan kelas buruh harus dipompa kembali. Situasi ini tak bisa dibiar-biarkan.
Ade Tri
Pengurus Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB)
Artikel ini dikutip dari buruh.co
Tolak revisi UU Ketenagakerjaan yang menyengsarakan rakyat