Bagi kaum buruh, Undang-undang Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku bukanlah regulasi yang ideal. Undang-undang ini sangat fleksibel. Tidak memberikan kepastian kerja, tersebab di dalamnya terdapat kebijakan pemagangan, kontrak, dan outsoucing. Ia juga tidak memberikan kepastian pendapatan, karena mengakomodir politik upah murah.
Undang-undang ini juga memungkinkan pengusaha melakukan PHK dengan mudah. Meskipun dikatakan bahwa PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian hubunngan industrial batal demi hukum dan upah serta hak-hak buruh selama proses PHK harus tetap dibayar, namun ketika ketentuan ini dilanggar tidak ada sanksi yang diberikan. Tidak ada sanksi, sama artinya tidak ada regulasi.
“Jangankan yang tidak ada sanksinya. Yang jelas-jelas ada sanksinya saja masih ada pengusaha yang tanpa merasa berdosa melakukan pelanggaran,” kata kawan saya.
Melalui undang-undang ini, orang mudah direkrut tetapi juga mudah dipecat.
Sebagai bukti jika undang-undang ini ditolak kaum buruh, ia sudah berkali-kali dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagian ada yang berhasil, dimana MK mengatakan beberapa pasal tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun ada juga gugatan yang tidak dikabulkan. Apapun itu, adanya gugatan ke MK menunjukkan jika regulasi ini tidak memuaskan pihak-pihak terkait.
Hampir setiap Pemilu, kaum buruh meneriakkan agar outsourcing dihapuskan. Tetapi kebijakan yang berorientasi pada labour market flexibility itu justru makin kokoh.
Hingga kemudian, kita mendengar beberapa waktu yang lalu kalangan pengusaha datang ke Presiden dan meminta agar Undang-undang Ketenagakerjaan direvisi. Tidak menunggu waktu lama, permintaan ini mendapatkan lampu hijau. Presiden Jokowi mengadakan rapat dengan beberapa menteri dan pejabat untuk membahas perihal revisi.
Bahkan Menteri Ketenagakerjaan dengan sigap mengatakan, pihaknya tengah melakukan kajian untuk dalam rangka melakukan revisi.
Reaksi berbeda ditunjukkan kalangan buruh. Mereka ramai-ramai menolak adanya. Seperti hantu, revisi ternyata menakutkan sekali.
Pertanyaannya, jika buruh tidak puas dengan isi Undang-undang Ketenagakerjaan karena dianggap terlalu fleksibel, mengapa tidak bersedia dilakukan revisi? Jawabannya adalah, karena revisi yang dimaksud bukan untuk mengakomodir kepentingan buruh. Tetapi demi untuk melayani kepentingan investasi. Pesanan para pemodal.
Alih-alih menghapus outsourcing, revisi yang dimaksud disebut-sebut untuk mengurangi atau menghilangkan pesangon, kenaikan upah minimum menjadi dua tahun sekali, outsourcing bisa diberlakukan di semua jenis pekerjaan, dan lain-lain.
Keinginan pengusaha untuk merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan nampaknya tidak akan bertepuk sebelah tangan. Kekuatan mereka tidak hanya pada modal, tetapi juga disinyalir mampu mempengaruhi kebijakan. Sebagian orang menganggap hal ini wajar, karena mereka menjadi penyokong utama dalam Pilres maupun Pilkada. Sebagai imbalan, tentu mereka menginginkan kebijakan yang berpihak kepada pengusaha.
Lalu bagaimana dengan kaum buruh? Meskipun kesadaran politik mereka terus tumbuh, namun belum sampai pada tahap mempengaruhi kebijakan. Sebagian malah beranggapan politik itu kotor dan harus dijauhi. Dan inilah dampaknya. Politik menentukan arah revisi Undang-undang Ketenagakerjaan.
Kahar S. Cahyono (Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI)
Jakarta, 29-06-2019
👍
Seharusnya kehadiran pemerintah melalui UU ketenagakerjaannya bs menjadikan wadah pengayoman bg kaum buruh namun bila UU tersebut timpang berat sebelah dan cuma berpihak pada para pemilik modal atau pengusaha maka mulai di sinilah buruh tetap akan terus berjuang demi kelangsungan kerja kaum buruh ✊